Hilang Lima Ribu, Dapat Sepuluh Ribu

Suatu hari ketika sedang berjalan-jalan ke toko buku, saya bertemu dan berkenalan dengan seorang lelaki yang berkelakuan agak feminim bernama Iksan. Kami pun ngobrol dan berbincang akrab. Setelah lama berbincang, Iksan yang mengaku kuliah di FE UI itu kemudian mengajak saya untuk menemaninya mencarikan hadiah ulang tahun untuk pacarnya. Saya yang kebetulan sedang suntuk lalu mengiyakannya.
Kami lalu pergi ke sebuah mall, dimana kami masuk ke sebuah toko pakaian bermerk. Rupanya Iksan berniat membelikan pacarnya itu pakaian. Setelah lama memilih, Iksan akhirnya menentukan pilihannya. Ia lalu menyuruh saya untuk memilih pakaian yang saya suka. Saya menolak, tapi Iksan bersikeras untuk membelikan saya pakaian. Ya udah, anggap aja rejeki, saya lalu memilih pakaian yang saya suka. Setelah saya memilih, Iksan menyuruh saya untuk mencobanya di kamar pas. Saya tidak mau, tapi Iksan bersikeras sehingga sayapun mengalah.
Sebelum saya mencoba di kamar pas, Iksan meminta saya untuk meminjamkan uang sebsar dua puluh ribu rupiah yang katanya akan ia gunakan untuk diberikan kepada kakak pacarnya yang berkerja di toko tersebut. Dia beralasan kalau uangnya masih berada di ATM dan belum dia ambil. Saya bingung karena saat itu saya tidak membawa uang sebanyak itu. Saya hanya memberikannya sebanyak lima ribu rupiah. Iksan berjanji akan segera menggantinya.
Ketika saya mencoba pakaian di kamar pas, Iksan mendadak pamit akan pergi sebentar untuk mengambil uang di mesin ATM. Saya mencegahnya, namun ia berdalih takkan lama. Saya tak curiga dan mempersilakannya pergi.
Setelah mencoba pakaian, saya keluar dari kamar pas dan menunggu Iksan. Tapi lama saya tunggu, Iksan tak jua datang. Kira-kira sudah sejam saya menunggu, Iksan masih juga belum datang. Saat itu saya mulai curiga, namun saya tak mau berprasangka buruk dulu. Akhirnya saya meninggalkan pakaian yang tadi saya coba dan meninggalkan pesan kepada penjaga toko kalau saya pergi duluan.
Keesokan harinya, saya menghubungi nomor telepon genggam Iksan yang saya dapat saat berkenalan. Saya ingin menanyakan kenapa dia pergi lama kemarin. Namun, saya terkejut ketika sebuah suara yang mengaku bernama Iksan di telepon mengatakan kalau dia tak mengenal saya. Suaranya pun berbeda. Bila Iksan yang saya temui itu suaranya manja dan agak banci, suara di telepon justru tegas dan bernada dewasa. Iksan yang saya telepon mengatakan kalau kemarin dia sedang ke luar kota karena ada urusan bisnis. Dia juga terkejut karena dia tidak sedang kuliah melainkan sudah bekerja dan memiliki sebuah usaha dagang. Oh, tidak…berarti saya telah ditipu.
Saya lalu menceritakan semuanya kepada Pak Iksan di telepon peristiwa yang sebenarnya. Pak Iksan terkejut dan sangat menyesalkan kejadian yang saya alami. Ternyata ada seseorang yang memanfaatkan nama dan nomor teleponnya untuk melakukan penipuan. Memang Pak Iksan pernah memasang iklan di surat kabar. Beliau tak menyangka kalau iklan yang ia pasag di surat kabar dimanfaatkan oleh seorang penipu.
Pak Iksan merasa bersalah dan meminta maaf kepada saya. Beliau menanyakan berapa kerugian yang telah saya alami. Saya menjawab kalau saya hanyakehilangan lima ribu rupiah. Pak Iksan lalu berbaik hati kepada saya dan memberikan saya pulsa telepon genggam sebesar sepuluh ribu rupiah. Beliau berpesan kepada saya agar lebih berhati-hati lagi.
Saya tak menduga kalau masih ada orang sebaik Pak Iksan. Ia justru menggantikan kerugian yang tidak ia lakukan. Ternyata meskipun saat ini banyak orang-orang jahat yang tak bertanggung jawab, masih ada seorang baik hati bernama Pak Iksan.
Bagi saya sendiri sih ini menguntungkan. Bagaimana tidak? Uang lima ribu memang hilang, namun tergantikan dengan yang lebih baik, yaitu sepuluh ribu rupiah dari sedikit manusia baik di Indonesia.
Buat Iksan yang sudah menipu saya, saya masih menunggu Anda membayar pinjaman Anda sebesar lima ribu rupiah. Semoga Tuhan menyadarkan Anda…Amin.

Typer Shark!

Typershark adalah game puzzle edukasi mengetik ringan dari PopCap yang hadir dalam sistem Windows. Terdapat tiga mode permainan dalam game ini. Yang pertama yaitu typing tutor, dimana kita dapat belajar mengetik melalui tutorial-tutorial singkat yang disajikan oleh game ini. Tipe permainan ini menggunakan sistem pengetikan sepuluh jari, sehingga nantinya akan sangat membantu kita di dalam dunia kerja.

Mode yang kedua yaitu mode petualangan. Dalam mode ini kita bermain sebagai seorang penyelam/diver yang sedang memburu harta karun di dalam lautan yang penuh dengan Hiu-Hiu berbahaya. Dalam perjalanan kita menemukan petunjuk-petunjuk Harta Karun tersebut, kita akan berhadapan dengan beragam jenis ikan Hiu yang siap untuk memangsa kita mulai dari Hiu kepala Palu hingga Hiu Hantu. Untuk dapat mengalahkan hiu-hiu ganas tersebut, kita harus mengetikkan huruf-huruf yang tercetak di tubuh masing-masing Hiu itu pada kibor komputer kita. Itulah kenapa game ini diberi judul Typer Shark!
Bila kita berhasil mengalahkan semua Hiu dan sampai pada dasar laut, kita akan masuk ke dalam babak bonus yang akan mengantar kita memasuki level/babak/stage selanjutnya yang semakin sulit. Semakin tinggi dan jauh perjalanan level kita, kita akan bertemu dengan jenis-jenis Hiu yang baru. Ditambah lagi, pada akhir level kita akan berhadapan dengan bos-bos yang tangguh.

Mode permainan yang ketiga adalah Abyss, dimana sistemnya sama seperti time trial, dimana kita dituntut membunuh hiu sebanyak dan selama mungkin hingga kita mati.
Secara garis besar kualitas gambar dan suara dari game ini tergolong bagus. Gameplay pun mudah dan memungkinkan kita untuk dapat belajar mengetik dengan baik dan benar. Tingkat kesulitan yang dihadirkan sanggup membuat kita tidak cepat bosan dalam memainkannya karena nantinya akan muncul tingkat kecakapan kita dalam memainkan permainan ini. Selain unsur permainan, game ini juga dapat membantu kita untuk dapat mengetik dengan lancar pada kibor komputer. Jadi, game ini bisa juga disebut sebagai game pendidikan atau edukasi. Sebuah game bermutu dan berkualitas yang sangat saya sarankan untuk dimainkan baik bagi siapa saja tanpa batasan umur.

Informasi Umum:
Typer Shark!Developer: PopCap Games – Publisher: PopCapGames – Distributor: Various – Designer: Jason Kapalka – Engine: PopCap Games Framework – Version: 1.02 – Platform: Windows – Release Date: June 11th, 2003 – Genre: Puzzle – Mode: Single Player – Rating: Everyone (ESRB) – Media: CD, Online Download – System: OS: Win 98/ME/2000/XP/Vista – Requirements: Memory: 128 MB RAM. DirectX: 7.0. Processor: Pentium II, 350MHz or faster – Input Methods: Keyboard, Mouse.

DPR Bukan Wakil Rakyat?

Mungkin bertanya-tanya dengan tajuk di atas, tapi itulah kesimpulan yang dapat saya ambil setelah selama ini melihat bagaimana pergerakan (cie bahasanya….) para anggota dewan yang terhormat.

Mayoritas anggota dewan yang bertugas di gedung MPR/DPR Nusantara nyaris tidak melakukan tugas mereka sesuai dengan yang diamanatkan oleh rakyat. Sangat jarang sekali kita lihat suara-suara rakyat Indonesia yang diberikan kepada mereka pada pesta demokrasi terbesar Pemilu ternyata tak ada harganya.

Mereka yang duduk di Senayan hanya mewakili suara partainya, bukan suara rakyat yang semakin hari semakin terhimpit dan berada di ambang kematian. Mereka tidak mewakili suara rakyat, karena mereka disetir oleh partai pendukung. Tentu saja partai mereka meminta balasan karena atas jasa partailah para anggota dewan dapat melenggang dengan gaji yang besar.

Di tengah krisis ekonomi yang melanda negeri ini, dimana rakyat kesusahan mencari makan, mereka yang katanya wakil rakyat itu justru meminta kenaikan gaji. Pantaskah? Sementara kinerja mereka tidak pernah membaik? Sementara ada jutaan rakyat Indonesia yang berjuang melawan maut setiap harinya?

Dalam masa jabatan mereka yangt pendek, yaitu lima tahun, tentunya para wakil rakyat itu akan berusaha mengumpulkan harta sebanyak mungkin sebelum masa jabatan mereka berakhir. Bagi mereka kursi DPR adalah lumbung emas guna kehidupan anak keturunan mereka. Jadi janji-janji saat kampanye? Apakah hanya bualan belaka?

Kita lihat di televisi saat ini, banyak anggota DPR yang terjerat kasus suap dan korupsi. Kasus suap dan korupsi dalam berbagai bentuk kini ramai di Senayan, mungkin sama meriahnya dengan Piala Thomas dan Uber di istora Senayan yang telah usai. Kita lihat, hampir semuanya terlibat kasus suap! Apakah gedung nusantara itu adalah tempat untuk suap-menyuap? Tempat untuk mencari harta belaka? Ladang korupsi, tempatnya para koruptor?

Selain itu, kita lihat juga betapa kelakuan wakil-wakil rakyat yang sangat tidak pantas. Kelihatannya sih mereka berjas, berdasi, berpakaian safari, pokoknya pakaian rapi, dengan gelar sarjana hingga magister, tapi kita lihat kelakuan mereka. Kasus asusila kerap terjadi di gedung DPR. Ingat video porno Yahya Zaini dengan Maria Eva? Atau yang terbaru yang melibatkan anggota DPR Max Muin? Pantaskah itu semua diteladani oleh rakyat Indonesia? Bukankah sebagai wakil rakyat mereka harusnya menjadi teladan? Maka jangan salahkan kalau kelakuan rakyat Indonesia sudah mulai bejat. Lha wong pemimpinnya seperti itu….

Ada lagi yang tak lekang dalam ingatan, yaitu tatkala anggota DPR saling adu pukul. Mereka berkelahi layaknya anak SMA ketika membahas undang-undang. Pantaskah itu?
Jadi jangan heran kalau anak-anak SMA suka tawuran, bukankah mereka meniru paea wakil rakyat yang berada di parlemen.

Coba lihat pada berita di televisi ketika DPR sedang membahas undang-undang atau membahas nasib rakyat. Penuhkah kursi mereka?
Para wakil rakyat itu mentang-mentang sudah menjadi orang yang terhormat, mereka kini jadi malas memikirkan nasib rakyat. Mereka malas datang saat sidang. Mereka malas. Atau kalau mereka malu, mereka akhirnya datang, namun di parlemen kita lihat mereka bukannya membahas nasib rakyat, mereka malah tidur!
Apakah AC di Senayan begitu sejuk hingga mereka semua terlelap? Kalau wakil rakyatnya saja tidur, pantaslah bila negeri ini tak pernah terbangun, alias tidur panjang….tak pernah maju, selalu bangga sebagai negara berkembang (under developing country).

Beginikah mereka yang berada di DPR saat ini? Pantaskah mereka disebut wakil rakyat?
Namun di tengah krisis itu, masih ada wakil rakyat yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Mereka benar-benar berjuang demi kebangkitan bangsa. Mereka benar-benar berjuang demi tanah air tercinta. Sayang, jumlah mereka sedikit, dan semakin hari semakin sedikit…
Kita hanya bisa berdoa….semoga terus muncul wakil-wakil rakyat yang benar-benar pada tempatnya…demi kebangkitan bangsa. Indonesia bisa!

Dikirimkan di opini | Dengan kaitkata

Perjalanan ke Pantai (bag.3 – habis)

Aku bingung, mana mungkin aku pulang hanya dengan memakai sebelah sandal? Kucari sandalku yang sebelah lagi pada deburan ombak namun aku tak menemukannya. Huda dan Andri lalu memintaku untuk merelakannya. Kata mereka mungkin sandalku telah terbawa ombak cukup jauh ke tengah laut. Aku berpikir sejenak. Masa’ aku harus pulang dengan tanpa alas kaki? Mana mungkin aku memakai sandal sebelah?

Akhirnya kuputuskan untuk kembali mencari sandal yang sebelah. Lama kami mencari, namun yang dicari tak jua ditemukan sementara langit telah berubah jingga. Ketika aku mulai putus asa, kulihat sandal jepitku berada terjepit di antara batu karang besar tak jauh dari tempatku bergaya tadi. Aku berniat untuk mengambilnya, tapi aku takut. Masalahnya, tempat sandalku berada itu telah cukup jauh dari pantai. Ditambah lagi ombak yang datang bergantian dengan derasnya bisa saja menyeretku ke laut. Aku sangsi antara mengambil sandalku atau justru meninggalkannya. Akhirnya aku beranikan diri untuk mengambilnya dengan segala resikonya. Tak mau mati konyol karena sandal jepit, kami pun menyusun rencana untuk mengambil sandal yang berada cukup jauh dari pantai tersebut. Huda lalu mengusulkan agar aku mengambilnya saat ombak belum datang sebab saat itu daerah karang tempat sandalku terjepit tidak terendam air. Masalahnya, selang waktu ombak dengan ombak berikutnya cukup dekat sehingga aku harus harus cepat mengambil sandal itu dan memanjat karang menuju pantai atau kalau tidak aku akan dihantam ombak hingga membentur karang. Kubulatkan tekadku, kuambil nafas panjang, dan kuberdoa dalam hati. Kami menunggu saat ombak surut. Ketika saatnya tepat, Huda memberi aba-aba dan aku pun segera menuju ke arah karang. Aku memanjat karang dengan cepat. Permukaan karang yang terjal dan licin membuatku harus berhati-hati agar tak jatuh terpeleset. Setelah beberap detik aku berhasil sampai di tempat sandalku terjepit. Gawatnya, sandalku terjepit cukup dalam sehingga sulit untuk ditarik dari karang. Ketika tengah berusaha mengeluarkan sandal, Huda berteriak keras. Ternyata ombak besar akan datang. Aku mulai panik. Kucoba terus menarik sandal dari karang. Setelah beberapa kali mencoba menarik, aku akhirnya berhasil mengambil sandalku. Dengan cepat kupanjat kembali karang dan segera berlari ke pantai. Terlambat, ombak telah datang dan menghantam tubuhku. Aku pun terjatuh dan terbenam dalam ombak untuk beberapa saat. Ketika ombak surut, aku terbaring telungkup di atas pasir. Huda dan Andri yang melihatku sepertinya kecewa karena tak melihat sandal yang tadi aku ambil. Aku lalu bangkit dan menemukan sandalku berada dalam genggamanku. Akhirnya aku berhasil! Akhirnya aku dapat pulang dengan memakai sandal lengkap. Benar-benar pengalaman yang menegangkan.

Setelah memeriksa semua barang, kami pun beranjak pulang. Sebelum kembali mendaki bukit untuk kembali pulang, aku berbalik menoleh pada pantai yang ada di depanku. Pasir putih yang indah, ombak yang deras, dan pemandangan yang indah di pantai ini ditambah lagi dengan petualangan yang mendebarkan bersamanya, aku yakin aku takkan melupakan pantai ini. Bagiku pantai ini adalah pantai terindah yang pernah kutemui. This is the greatest beach ever!!!

Kami pulang mengendarai sepeda motor seperti saat kami berangkat tadi. Aku tak sempat mengeringankan baju terlebih dahulu karena hari telah senja. Selama kurang lebih dua jam kami menyusuri jalan pulang. Sebelum berpisah, kami mampir dulu di sebuah warung bakso. Kami makan bakso dengan lahap sambil bercerita tentang perjalanan yang baru saja kami alami sambil sesekali tertawa riang. Setelah selesai, kami pun kembali pulang ke rumah masing-masing.

Malamnya di rumah, aku mengirimkan pesan singkat melalui ponsel kepada Huda. Isinya ucapan terima kasih karena telah mengajakku berlibur ke pantai. Liburan ke pantai ini benar-benar menyenangkan. Badanku sampai terasa sakit semua sesampainya di rumah, seolah baru saja berkelahi.

Tak lama setelah aku mengirimkan pesan singkat itu, Huda mengirimkan pesan balasan. Aku tertegun ketika membaca pesan balasan darinya. Kata-katanya membuatku terkesan…..

Hari ini akan kita rindukan…

Semoga kita akan selalu menjadi sahabat sampai kita tua nanti….

Dan kita selalu dapat melakukan hal yang sama dan lebih baik di hari nanti…

Sahabat selalu di hati…….

( M. Huda – ASSE )

-SEKIAN-

Pancasila yang Tak Terdengar

Sedih melihat negara kita tercinta, Indonesia berada dalam kondisi yang terpuruk. Politik penuh kecurangan, ekonomi negara kacau balau tak terkendali, sosial menurun dengan banyaknya kerawanan sosial, budaya semakin terkikis oleh penjajahan cara baru, pertahanan kebobolan, dan keamanan tidak bisa diandalkan hingga banyak investor bahkan warga negara yang memilih kabur dari negara kita yang kita cintai ini.

Aneh memang, negara sekaya Indonesia bisa mengalami keterpurukan dan juga krisis multidimensi yang semakin hari semakin tak bisa dikendalikan. Begitu banyak permasalahan yang terjadi di negeri yang kata band Koes Plus ”tongkat, kayu dan batu bisa jadi tanaman”. Sebenarnya ada apa sih dengan negara kita yang kaya sehingga dijuluki ”zamrud khatulistiwa” ini?

Segala sesuatu pastilah ada sebabnya. Sebab-akibat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan di dunia ini. Karena itu, kita bisa melihat sebab-sebab dari akibat yang telah terjadi. Contoh, kenapa sih tagihan listrik membengkak? Jawabannya mungkin karena lupa mematikan lampu dan juga televisi. Kenapa sih tagihan telepon naik? Jawabannya mungkin karena keseringan internetan. Nah, seperti itulah kita akan melihat sebab dan akibat krisis multidimensi di Indonesia.

Sebenarnya hanya ada satu alasan atau sebab yang pasti kenapa Indonesia gagal menjadi negara yang disegani, maju, dan terhormat. Ada satu kata yaitu Pancasila. Negara kita yang katanya menggunakan Pancasila sebagai dasar negara justru hanya menjadikannya nyanyian yang dulu ketika sekolah sering kita nyanyikan bersama teman-teman. Pancasila sebagai ideologi yang katanya terbaik dan diambil dari nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia toh pada kenyataannya tidak bisa membawa negara pada cita-cita yang diharapkan, yaitu kemakmuran negara. Yang terjadi justru ”kemakmuran” pejabat yang melakukan korupsi. Apa Pancasilanya yang salah? Apa penataran P4-nya kurang sempurna?

Pancasila hanya dasar, dan itu tak berarti tanpa adanya subjek yang dikenakan kepadanya, yaitu pelaku atau pelaksana dari Pancasila itu sendiri. Yang saya lihat, mayoritas masyarakat Indonesia seolah tak peduli dan bahkan acuh tak acuh terhadap dasar yang dilambangkan dengan burung Garuda ”gepeng” yang dipajang di depan kelas. Kenapa sebenarnya? Kenapa banyak warga negara tidak peduli pada dasar negara mereka? Apakah layak disebut warga negara?

Mari kita bahas saru persatu dengan mengambil masing-masing satu contoh.

Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Kita mengakui sebagai bangsa yang bertuhan, bangsa yang berkeyakinan dan bukan komunis ataupun atheis, tapi apakah pengejewantahannya telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Kita lihat hampir di setiap kota di negeri ini ada yang namanya lokalisasi. Apa itu lokalisasi? Itu adalah tempat berkumpulnya para pelacur yang menjajakan dirinya kepada pria-pria hidung belang. Dalam semua agama yang dianut di negara kita ini, saya yakin pelacuran adalah dosa dan hukumnya haram. Tapi kenapa pelacuran justru diadakan oleh pemerintah melalui lokalisasi? Bukankah lokalisasi itu yang mengatur adalah pemerintah? Katanya bertuhan, tapi kenapa rumah ibadah bisa dekat dengan pelacuran?

Sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Benarkah kita semua warga negara Indonesia adalah manusia? Saya yakin jawabannya ya, karena hanya mereka yang berakal yang bisa menerima kesepakatan mengenai konstitusi dan kenegaraan. Tapi, pantaskah kita disebut manusia bila kita bersifat dan bersikap layaknya binatang? Bagaimana dengan kasus-kasus yang terjadi berkenaan dengan pelanggaran HAM di negara ini? Kasus GAM, Timor Timur, Tragedi Mei 1998, kerusuhan Monas, itu semua bisa disebut manusia yang beradab? Apakah pengeroyokan, pembunuhan, penyiksaan, dan main hakim sendiri bisa disebut kemanusiaan yang beradab? Apakah disebut manusia bila membiarkan warga negaranya mati kelaparan karena tidak mampu membeli sembako yang harganya melangit tatkala tiga huruf yang dijadikan lelucon di televisi (BBM) meroket bak pesawat ulang alik Chalengger. Dimana sisi kemanusiaan yang beradab ketika masih dan sering kita temui warga miskin yang terinjak-injak dalam pembagian sembako gratis atau keluarga yang memilih bunuh diri sebagai jalan keluar? Dimana sisi kemanusiaannya tatkala anggota dewan yang berjas dan berdasi meminta kenaikan gaji yang tinggi sementara banyak warganya yang masih makan Senin-Kamis layaknya puasa sunah? Adil dan beradabkah?

Sila ketiga Persatuan Indonesia. Inilah yang lucu dari para subjek negara di Indonesia. Persatuan seperti apa yang ditampilkan? Persatuan seperti apa yang telah terjadi dan terlihat nyata di negara ini? Apakah persatuan mengganyang aliran sesat dengan kekerasan? Apakah persatuan menolak harga BBM dengan menyerang dan melemparkan molotov? Apakah persatuan mogok makan sebagai bentuk protes? Atau mungkin persatuan paduan suara DPR yang mengatakan ”ya” sementara mata mereka tampak seperti senter yang mulai kehabisan baterai? Apa persatuan karena telah ada ”pelicin” yang membuat kita mau menyingsingkan lengan baju? Atau persatuan yang ditunjukkan dengan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan dan mengadakan acara peringatan tanpa bisa diambil dan diresapi maknanya? Yang mana nih?

Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Pertanyaan dari sila terpanjang ini adalah, sudahkah kita menggunakan jalan musyawarah sebagai penyelesaian? Atau kita lebih memilih jalan yang lebih muda yang disimbolkan dengan amplop? Atau mungkin melalui pentungan dan kapak yang siap memotong leher kita kapan saja? Dimana sisi musyawarahnya? Sudahkah rakyat dipimpin oleh para pemimpin yang memiliki kebijaksanaan layaknya Nabi Muhammad, Yesus, atau Budha? Sudah pulakah suara-suara masyarakat terwakilkan oleh orang-orang yang katanya cerdas yang kita pilih dengan menusukkan paku? Kalau telah terwakilkan, kenapa bisa terjadi banyak keputusan-keputusan kontroversial yang bertentangan dengan keinginan masyarakat? Jujur saja, musyawarah adalah ciri khas dari negara ini semenjak nenek moyang kita. Tapi sepertinya musyawarah sebagai penyelesaian masalah yang kita banggakan ini hanya milik nenek moyang kita yang katanya seorang pelaut. Dan terakhir…

Sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kita tahu pasti kalau sila inilah yang paling banyak disorot saat ini. Keadilan yang dilambangkan dengan rasi bintang Libra, ternyata hanyalah kumpulan buku-buku berbahasa Belanda yang menjadi monopoli orang-orang berdompet tebal alias orang kaya harta. KUHP yang dibanggakan seolah hanya digunakan sebagai formalitas, dan hanya akronimnya yang sering dipakai (KUHP – Kasih Uang Habis Perkara). Adilkah maling ayam yang tewas di tangan massa yang tak beradab dengan koruptor milyaran rupiah yang bisa melenggang wisata keluar negeri? Apakah adil ketika para pejabat dan konglomerat hitam yang telah merugikan negara milyaran rupiah itu bebas tak bersyarat? Adilkah sementara tetangga kita yang mencuri karena kemiskinan tewas terpanggang dengan mengenaskan?

Dari pembahasan kelima sila di atas, bisalah kita menyimpulkan kalau Pancasila yang terdiri dari lima sila dengan masing-masing simbol yaitu bintang, pohon beringin, kepala banteng, rantai dan padi dan kapas ternyata tidak diamalkan dengan baik. Begitu banyak contoh-contoh nyata tentang pelanggaran akan nilai-nilai dasar Pancasila. Bukankah pelanggar dasar negara patut dan pantas untuk dihukum? Lalu kenapa mereka tidak dihukum? Apakah hukum hanya milik para pejabat dan konglomerat?

Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bila kita ingin bangkit dari segala keterpurukan bangsa dan krisis multidimensi, marilah kita kembali ke Pancasila sebagai dasar negara sekaligus pedoman kita. Mari kita pelajari dan hayati dengan dalam nilai-nilai luhur yang katanya bersumber dari kemajemukan bangsa ini. Namun bila ternyata kemakmuran dan cita-cita negara belum juga tercapai sementara kita telah menjalankan Pancasila dengan baik dan benar layaknya bahasa Indonesia, kita bisa menggugat burung garuda ”gepeng” atau mungkin memikirkan dasar negara yang baru yang lebih baik dari Pancasila.

Memperingati seabad kebangkitan nasional dan juga lahirnya Pancasila, marilah kita bercermin dan berusaha lebih baik demi negara kita tercinta, Indonesia. Tidak ada kata terlambat, karena kata terlambat hanya pantas untuk pecundang. Karena kita bukan pecundang, karena kita pemenang. Mari kita maju tak gentar membela yang benar, jangan justru maju tak gentar membela yang bayar. Indonesia bangkit, Indonesia bisa!

Perjalanan ke Pantai (bag.2)

Ketika aku akan buang air kecil, tiba-tiba dari atas bukit turun beberapa muda-mudi. Aku pun langsung mengurungkan niatku tersebut. Saat itulah aku melihat Huda dan Andri tengah berjalan menuju ke bukit. Aku pun menunggu mereka. Ketika mereka telah bersamaku, kami bersama-sama menaiki bukit yang terjal itu. Kami melihat seekor kambing yang tengah dikandangkan di tengah bukit. Kami akhrinya tiba di daerah bukit yang datar. Dari tempat kami berdiri tampak hamparan lautan biru dengan ombak yang terus menerus menghantam bagian bawah bukit. Ya, kami berada di tepi jurang di bukit itu dengan lautan sebagai dasarnya. Kami lalu bersitirahat sejenak di tempat itu sembari memandangi buih-buih yang tercipta dari deburan ombak yang kencang. Kami pun tak lupa berfoto.

Setelah lama berada di tempat itu, aku pun merasa bosan. Aku heran kenapa aku tidak menemukan muda-mudi yang tadi naik bukit di tempat kami beristirahat ini? Aku lalu memandang ke atas. Ternyata kami masih berada di tengah bukit. Masih ada bagian bukit yang lebih tinggi. Aku pun penasaran, ada apa dibalik puncak bukit ini.

Kembali aku mengajak Huda dan Andri untuk kembali menaiki bukit. Namun Huda dan Andri lagi-lagi menolak. Mereka malah menyuruhku untuk pergi terlebih dahulu dan akan menyusul bila pemandangan di sana bagus. Mereka memintaku untuk memberikan isyarat bila ada yang menarik di balik puncak bukit ini. Akhirnya kutinggalkan kedua temanku itu lagi. Aku kembali mendaki bukit. Bukit itu masih cukup tinggi untukku. Begitu susah untuk mencapainya dikarenakan jalannya yang semakin sulit. Namun perjuangankan membuahkan hasil. Kulihat sebuah pemandangan indah tatkala aku telah sampai di puncak bukit. Ternyata ada pantai lain di balik bukit ini! Kulihat pula muda-mudi yang tadi menaiki bukit tengah bersantai di sana. Aku lalu memberikan isyarat kepada kedua temanku perihal pantai yang kulihat itu. Tapi aku tak sabar menunggu mereka. Aku pun mulai menuruni bukit menuju ke pantai. Jalan menurunnya semakin susah dengan lubang-lubang dan bebatuan yang menghalangi. Aku berpapasan dengan seorang pemburu burung yang juga tengah menuruni bukit. Setelah sampai di bawah bukit, dibalik bukit, aku lalu memutuskan untuk menunggu kedua temanku yang tengah dalam perjalanan. Tak lama mereka datang. Mereka terkejut melihat pantai lain dibalik bukit itu. Mereka tak menyangka ada pantai lain yang lebih indah dibalik bukit. Huda sendiri yang sudah pernah pergi ke pantai Tambakrejo baru tahu kalau ada pantai lain dibalik bukit. Ia lalu berterima kasih kepadaku.

Pantai lain yang kutemui itu tampak lebih indah dari pantai sebelumnya. Pantai ini masih sepi, kulihat hanya ada beberapa muda-mudi tengah berwisata. Mungkin hal ini dikarenakan akses menuju pantai tersebut berupa bukit yang susah untuk dilewati. Pantai ini benar-benar sepi dari aktivitas nelayan, tidak seperti pantai sebelumnya. Di sini tidak ada seorang nelayan pun yang mencari ikan. Sepi dan tersembunyi, itu yang aku simpulkan dari pantai ini. Pasir di pantai ini putih bersih. Ombaknya begitu keras, cukup untuk membuatku merinding. Pemandangan yang indah di pantai ini membuatku merasa kagum dan tenang. Sungguh indah nian ciptaan Sang Maha Hidup. Maha Suci Dia yang telah menciptakan alam beserta isinya. Bersama Huda, aku kemudian bermain-main di pantai. Andri memilih untuk duduk saja dan melihat. Sayang sekali, padahal aku ingin kami bertiga dapat bermain bersama di pantai.

Aku dan Huda lalu berlomba lari menyusuri pantai yang diapit dua bukit itu. Ternyata berlari di pasir pantai itu susah ya? Aku sampai terjatuh saat berlari. Di sisi lain pantai itu kami menemukan banyak sekali kerang dan fosil kehidupan laut yang terbawa oleh ombak yang deras. Iseng-iseng kami lalu mengamatinya. Sungguh indahnya makhluk-makhluk laut itu.

Seharian kami bermain-main di pantai. Aku dan Huda benar-benar senang. Tak pernah aku sesenang ini. Sayang Andri tak ikut menikmati bermain-main bersama ombak di tepi pantai. Andri lebih memilih duduk dan menjaga barang-barang kami.

Menjelang senja kami memutuskan untuk kembali pulang. Pantai sudah terlihat sepi. Beberapa muda-mudi yang tadi datang ke pantai telah pergi. Kini tinggal kami bertiga yang ada di pantai yang tersembunyi itu. Namun sebelum pulang aku ingin berfoto di sebuah karang besar yang ada di bawah bukit. Aku pun segera beraksi sementara Huda yang mengambil gambarnya. Saat itulah tanpa aku duga tiba-tiba datang ombak yang sangat deras menghantam batu karang tempat kuberdiri. Aku pun jatuh terhempas ke pasir pantai sementara Huda telah berlari menyelamatkan dirinya sendiri. Untuk beberapa detik aku tenggelam dalam ombak. Air laut yang asin membasahi baju dan celanaku. Aku lalu teringat sesuatu, ponsel dan dompetku ada di saku celana! Saat itulah aku berlari menjauh dari ombak. Dengan tergesa-gesa segera kulempar dompet dan ponselku sejauh mungkin ke pantai. Ketika aku merasa sudah aman, Huda dan Andri berteriak memanggilku. Aku menoleh. Huda dan Andri tampak menunjuk sepasang sandal jepit yang kuletakkan di dekat batu karang tadi. Aku pun mencoba menyelamatkan sandal jepitku dari ombak. Terlambat, ombak deras terlebih dulu menyapu pantai. Sandal jepitku pun terbawa ombak. Aku tak tinggal diam melihatnya. Langsung aku berlari mengejar sandal jepitku yang terbawa ombak. Setelah berjibaku dengan derasnya ombak, akhirnya aku berhasil menyelamatkan sandal jepitku. Tapi saat itu aku merasa ada yang kurang. Yang kudapat adalah sandal jepit sebelah kanan. Lalu, yang sebelah kiri mana?

bersambung ke bagian 3

Perjalanan ke Pantai (bag. 1)

Ketika aku pulang kampung kemarin, dua orang temanku semasa SMA, Huda dan Andri mengajakku untuk berwisata sejenak ke pantai. Ya…itung-itung sebagai reuni kecil-kecilan mengingat kami sudah lama tak bertemu semenjak lulus SMA (kami adalah teman akrab saat SMA dulu, bahkan kami bertiga membentuk geng persahabatan yang kami sebut ASSE Gank). Ditambah lagi perjalanan ini menjadi sebuah perpisahan dengan Huda karena setelah ini ia akan pergi ke luar negeri.
Awalnya kami hanya merencanakan sebuah perjalanan, tanpa tahu kemana tempat yang menyenangkan untuk dituju. Huda lalu mengusulkan untuk pergi ke pantai Tambakrejo yang ada di pantai selatan Blitar. Aku sih setuju-setuju saja. Aku juga sudah lama sekali tak bermain ke pantai. Terakhir aku ke pantai saat aku masih kecil (kelas satu SD), yaitu ke pantai Prigi di Trenggalek.
Kami merencanakan pergi hari Sabtu tanggal 26 Juli 2008. Kebetulan di hari itu kami bertiga tidak sedang sibuk. Pagi di hari Sabtu itu, Andri datang ke rumahku untuk menjemputku. Ia lalu memboncengku dengan sepeda motor menuju ke rumah Huda. Ternyata Huda telah menunggu di rumahnya. Dengan dua sepeda motor kami mulai berangkat ke tempat tujuan. Tepat pukul sembilan pagi kami meluncur. Karena hanya Huda yang tahu dan pernah ke sana, maka ia pun mengendarai sepeda motornya terlebih dahulu di depan aku dan Andri sebagai pemandu jalan (guide). Perjalanan kami dimulai dari kabupaten Kediri menuju ke Blitar. Selama kurang lebih dua jam kami menyusuri jalanan untuk mencapai tempat tujuan. Setelah melewati kota Blitar, kami menghadapi medan yang cukup berat untuk dilewati. Jalanan yang terletak di daerah pegunungan membuat kami naik-turun di sepanjang jalan menanjak dan menurun tanpa pagar. Jalanannya sempit dan curam. Beberapa kali aku menahan nafas ketakutan mengingat Andri menyetir dengan cukup kencang (maklum suka sekali nonton motoGP).
Akhirnya setelah selama dua jam duduk di atas motor, melintasi berbagai pemandangan kota, desa, bukit, pegunungan dan jurang, kami pun tiba di daerah wisata yang dimaksud. Kami membayar retribusi wisata masing-masing seribu rupiah pada petugas yang berjaga di portal masuk. Perlahan kami menyusuri jalan dan kemudian pemandangan indah lautan biru dan pantai terlihat oleh kami. Begitu biru, begitu indah….kami lalu menghentikan motor di sebuah gazebo kecil di pinggir pantai. Kami lalu memutuskan berisitirahat sejenak sebelum berjalan-jelan di pantai. Namun seorang lelaki pendek datang menghampiri kami yang tengah duduk-duduk di gazebo. Lelaki itu mencoba mengajak kami berbicara. Sikapnya yang aneh membuat kami curiga. Sebelumnya aku telah memberikan dua lembar uang seribu rupiah kepadanya karena aku mengira kalau dia adalah tukang parkir. Dia berterima kasih kepadaku, namun dia masih saja berada di dekat kami, mencoba ikut berbincang bersama kami. Ia bertingkah aneh pada Huda dengan menggerak-gerakkan tangannya. Ia lalu meminta uang pada Huda. Huda tidak menggubrisnya, dan membuat lelaki itu memegang kedua tangan Huda. Huda yang kesal kemudian mengajak aku dan Andri pergi dari tempat itu meninggalkan lelaki aneh itu. Kami pun kembali pada motor yang kami parkir di dekat gazebo. Namun sial, pasir yang begitu banyak membuat ban racing pada sepeda motor Andri terbenam di dalamnya. Aku dan Huda pun bersusah payah mengeluarkan motor Andri yang terjebak itu. Setelah berhasil mengeluarkan motor Andri, kami kembali mengendarai motor untuk mencari tempat yang nyaman untuk parkir. Setelah berputar-putar cukup lama dan tak jua menemukan tempat parkir yang baik untuk motor kami, kami akhirnya memutuskan untuk menitipkan motor kami pada tempat penitipan motor yang ada di sana.
Setelah menitipkan motor, kami berjalan mencari tempat yang menyenangkan untuk beristirahat sebentar. Kami tiba di sebuah pohon dan memutuskan beristirahat di bawahnya. Lama kami berbincang sambil sesekali ngemil di bawah pohon itu. Aku yang tak sabar untuk melihat keindahan pantai lalu mengajak Huda dan Andri untuk pergi menyusuri pantai. Namun Andri malas dan mengatakan “nanti dulu”. Dia dan Huda masih tetap duduk di bawah pohon sambil berbincang dan menikmati pemandangan pantai. Akhirnya aku nekat pergi sendiri ke sebuah bukit yang menarik perhatianku. Sebelumnya, kami melihat banyak muda-mudi yang menaiki bukit itu. Aku merasa heran dan bertanya, “Ada apa dengan bukit itu?” Ya, sangat mengherankan. Kenapa muda-mudi yang datang lebih memilih pergi ke bukit itu dibandingkan pantai yang ada di samping bukit? Padahal pantai itu Tambakrejo terlihat sangat menyenangkan dengan ombaknya yang datang silih berganti. Ditambah lagi dengan aktivitas para nelayan di pantai itu. Bukankah menarik untuk bermain-main di pantai itu? Tapi kenapa mereka lebih memilih pergi ke atas bukit? Ada apa dengan bukit itu ya? Aku pun bertanya-tanya. Andri sendiri menduga kalau muda-mudi itu pergi ke atas bukit untuk “begituan”. Aku tak percaya dengan dugaan Andri. Aku yang penasaran pun berjalan meninggalkan kedua temanku itu menuju ke arah bukit setelah terlebih dulu bermain-main di sungai kecil tepat di bawah bukit.
Aku menaiki bukit. Saat sedang mendaki bukit itulah tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku pun mencari daun dan tempat yang tersembunyi untuk buang air. Ketika aku telah menemukan yang kucari, aku pun berniat untuk buang air. Namun, belum sempat memulai, tiba-tiba saja…………

(bersambung ke bag.2)

Hak Anda untuk Merokok, Hak Kami untuk Bernafas

Aku bukan seorang perokok. Dan maaf saja kalau aku sangat membenci rokok. Bagiku rokok membawa banyak sekali keburukan. Jadi saranku, jangan merokok!

Aku punya pengalaman tidak menyenangkan mengenai rokok. Sewaktu SMA, aku tinggal di desa ibuku dimana suasana kekeluargaannya masih terasa hijau. Di desaku itu, warga desa yang kebanyakan bekerja sebagai petani sering mengadakan kenduri (selamatan) atau kenduren (bahasa jawanya). Mereka sering mengadakan kenduri untuk beberapa peristiwa atau hari-hari tertentu. Misal, peringatan kematian (7 hari, 40 hari, 100 hari, dst), tahlilan, perayaan panen, selamatan bertani, khitanan, kelahiran anak, dan lain-lain. Acaranya sih sederhana, hanya pembacaan doa oleh sesepuh desa, ramah-tamah, yang kemudian diakhiri dengan pembagian berkat (makanan, biasanya menunya nasi, daging ayam, tahu, tempe, sambal goreng, serondeng, dan berbagai pelengkap lainnya yang dibungkus/diletakkan di tempat makanan sekali pakai atau mungkin kulit batang pohon pisang). Ini sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah (berkat) yang diberikan.

Dalam kenduri tentu saja setiap warga diundang untuk menghadirinya. Biasanya kerabat atau bahkan sang empunya acara akan datang ke rumah-rumah warga dan mengundang mereka untuk datang. Yang mewakili adalah laki-laki yang sudah dewasa (baligh). Sebagai satu-satunya laki-laki dalam keluargaku (ayahku sudah meninggal semenjak aku kecil), akulah yang pasti diundang untuk mewakili keluargaku. Aku sih tak masalah soal undangan acara kenduri tersebut, kalau aku bisa, tentu aku akan datang (menghargai undangan). Tapi ada satu masalah yang membuatku malas bahkan enggan datang ke undangan kenduri. Masalah itu adalah rokok!

Kebanyakan pemuda, bapak-bapak, dan orang tua (laki-laki) di desaku adalah penggemar rokok (perokok maksudnya), yang tidak bisa diam kalau ada rokok atau uang buat beli rokok. Bahkan sesepuh desa juga merokok (hanya ada seorang sesepuh yang tidak merokok). Nah, aku tidak termasuk dalam kelompok perokok seperti mereka, karena aku benci rokok. Banyak alasan yang membuat aku tidak seperti kebanyakan orang-orang di desaku (merokok). Sedari kecil aku memang diajarkan untuk tidak merokok. Terima kasih kepada didikan ibuku yang sangat melarangku untuk mendekati hal-hal yang tidak berguna. Bahkan ketika aku kelas 2 SD, aku berjanji kepada Pamanku (alm.) kalau aku tidak akan pernah merokok selamanya. Sebuah janji yang sangat aku banggakan.

Dalam kenduri, selain disajikan makanan dan minuman, juga disajikan rokok sebagai pelengkap acara ramah-tamah. Rokok-rokok diletakkan di dalam gelas atau dibiarkan saja dalam bungkusnya dan diletakkan di tengah-tengah ruangan. Dan tahu sendiri kan apa yang terjadi? Acara ramah-tamah penuh dengan asap rokok, dimana hampir semua yang hadir menghisap rokok yang disediakan empunya rumah. Mungkin hanya aku yang tidak merokok. Terus terang, aku memiliki semacam alergi pada rokok (mungkin banyak yang punya). Aku tak akan tahan bila menghisap asap rokok. Aku akan mulai terbatuk-batuk, mata memerah, kepala terasa berat, dada sesak, dan ujung-ujungnya muntah kalau menghisap asap rokok…. entah gejala apa ini.

Menghadiri kenduri seperti itu bagiku sama saja dengan ”berjuang di tengah hidup dan mati”, terasa sangat menyakitkan. Di satu sisi aku ingin menghormati undangan kenduri (kata nabi kita wajib datang bila diundang), tapi di sisi lain aku tengah ”meregang nyawa” keracunan menghadapi asap-asap rokok yang terbang di sekitarku, mengingat hampir semua di seluruh ruangan itu merokok, ditambah lagi kami duduk berdekatan satu sama lain. Di sebelah kiri orang merokok, di sebelah kanan juga orang merokok, mampus deh!!!

Karena alasan itulah aku jarang mau datang bila diundang kenduri (persetan dengan undangan, kalau malah bikin sakit, mendingan di rumah aja). Bukankah perokok pasif lebih potensial menderita penyakit paru-paru akibat asap rokok dibanding perokok itu sendiri? Aku tidak mau mengorbankan kesehatanku dan keracunan hanya demi menghormati undangan.

Melihat aku jarang datang ke acara kenduri, tetanggaku yang masih kerabat menegurku. Di menganggapku sombong dan tak menghormati orang lain. Oke, mungkin aku tidak menghormati orang lain dengan tidak hadir atas undangannya, tapi apakah mereka itu menghormatiku yang sedang ”berjuang” di tengah ”asap-asap kematian” itu?

Pernah masalah ini aku konsultasikan kepada sesepuh desa (juga perokok), dan apa kata beliau?

”Kalau seperti itu, mendingan tutup hidung atau cari tempat yang jauh dari orang merokok…”

Weleh, jawaban yang…… Anyway, percuma aku nutup hidung, tetep aja mereka ngrokok. Masa datang untuk beramah-tamah akunya malah tutup hidung? Gak bebas dong? Gak nyaman dong? Trus, disuruh cari tempat yang jauh dari perokok, lha wong semuanya pada ngerokok….nyaris tak ada tempat untuk berlindung dari serangan asap rokok yang bergerak kemana-mana itu. Mau lari kemana? Apa izin pulang dengan alasan

”Maaf Pak, saya lupa memberi makan kucing saya…” (padahal kucing sudah dibuang ibu sebulan yang lalu karena buang air di ruang tamu)

Waduh…harus bagaimana? Mau nyuruh orang untuk tidak merokok, mana bisa…. semuanya kan perokok….dan perokok sejati takkan menyia-nyiakan rokok yang tersedia di depan mereka. Ditambah lagi, lebih asyik merokok bersama sehingga semua undangan merokok saat itu juga, tanpa membawa rokok itu pulang. Adapun yang masih belum puas merokok pasti akan mengambil satu dan membawanya pulang. Kalau aku ngomong kaya’ gini….

”Maaf Pak, bisa dimatikan nggak rokoknya, saya keracunan nih….”

Pasti dijawab….

”Hare gene gak ngrokok? Banci lu… ayo dong kita kompak…(ngrokok bareng gitu…)”

Trus kalau aku bilang….

”Maaf pak, ngerokok itu merugikan kesehatan, kok suka sih?”

Pasti dijawab….

”Saya dari dulu ngerokok tapi gak pernah sakit…malah semakin sehat…rokok itu bikin semangat kerja….” (gdubrak!!!)

Tidak!!! Yang salah saya atau mereka sih?

Memang, adalah hak setiap orang untuk merokok. Tapi hak mereka harus dibarengi dengan kewajiban menghormati orang lain, seperti merokok tidak di tempat umum (kalau di rumah tetangga, tempat umum bukan ya?). Kesadaran seperti inilah yang sepertinya masih sangat jarang terjadi di negara kita. Sering kita jumpai orang yang merokok di dalam angkutan umum, bus, atau di ruang tunggu. Padahal, di samping mereka terdapat banyak penumpang yang bukan perokok. Bagus kalau perokok tersebut mematikan rokoknya tatkala melihat penumpang / orang lain di dekatnya menegur dan mengatakan ”Maaf Pak, bisa matikan rokoknya….” atau mungkin memberi isyarat menutup hidung dan mengibas-ngibaskan asap rokok. Yang jadi madalah kalau para perokok justru acuh dan mengatakan ”Ini hak saya untuk merokok, jangan ganggu saya….” atau parahnya justru meniupkan asap rokok ke orang yang menegur. Waduh….yang bener aja!!! Memang hak kalian untuk merokok, tapi kami punya hak untuk bernafas! Kalau mau keracunan jangan bagi-bagi dong….keracunan-keracunan aja sendiri, jangan ajak-ajak dong!

Faktanya perokok pasif (tidak merokok tapi menghirup asap rokok secara tidak sengaja) lebih berpotensi menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh rokok dibanding perokok itu sendiri.

Peraturan tentang larangan merokok di tempat umum saja belum cukup kalau tidak diimbangi dengan kesadaran dari perokok itu sendiri. Jadi saran saya…. kalau mau ngerokok…ngerokok aja sendiri! Kalau mau mati…mati aja sendiri!!! Jangan gila dong….!

ASSE Gank, gengnya anak-anak yang tidak populer….

ASSE Gank, gengnya anak-anak yang tidak populer…

Mungkin setiap kita memiliki teman kala SMA. Kita banyak teman dan sering berkumpul dengan mereka. Tak jarang, kita kemudian membuat kelompok-kelompok dalam pertemanan itu. Tak jarang pula itu disebut dengan ”geng”.

Di kelas dua SMA, di kelasku dulu, ada sebuah geng yang terdiri dari anak-anak populer. Geng itu terdiri dari empat anak perempuan yang kaya, cantik, ppopuler, dan… pokoknya seperti yang sering kita lihat di TV deh! Nama geng itu ”SECA Gank”. Sayangnya, aku lupa apa arti nama tersebut.

Gang ini dikenal di sekolah. Banyak anak yang takut dan segan dengan geng ini, yang dipimpin oleh murid yang pemberani dan penuh dengan masalah (padahal cewek lho..). Tapi aku tidak takut. Kenapa harus takut?

Setiap pagi anak-anak SECA menulis nama geng mereka di papan tulis, lengkap dengan nama-nama anggotanya. Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa geng mereka eksis dan ada.

Melihat keberadaan SECA, aku jadi terinspirasi. Aku kemudian membentuk sebuah geng sendiri dengan memaksa (atau mau tidak mau) mengajak dua temanku. Kuberi nama gang ini ”ASSE Gank”. ASSE adalah kepanjangan dari ”Aliansi Siswa Satu Empat” karena anggotanya adalah anak-anak alumni kelas satu empat. Aku bahkan membuat logonya yaitu burung yang bertengger di atas tulisan ASSE.

Terus terang saja, ASSE tidak setenar SECA. Bahkan, namanya hanya kami yang mendengar. Kalaupun ada yang mendengarnya, mungkin cuma dua teman kami yang entah termasuk anggota tidak.

Berbeda dengan SECA, ASSE terdiri dari anak-anak yang tidak populer (dalam versi teman-teman). Mereka adalah aku, yang pendek, kurus, gagap, dan suka bertingkah konyol; Huda, juara kelas, namun low profil, pendiam, dan tidak banyak omong (apa bedanya?) namun tidak populer; dan Andri, anak berambut keriting pemalu yang sukanya gonta-ganti motor (punyanya bengkel dibawa ke sekolah).

Kami memang tidak populer di kalangan teman-teman, tapi mereka akan mudah menemukan kami. Memang, anak-anak ASSE selalu berkumpul bersama bilamana sedang berada di sekolah. Dimana ada aku, pasti ada Huda dan Andri, begitu pula sebaliknya. Mereka mengenal kami sebagai anak-anak yang tidak populer, namun tidak tahu kalau kami ini adalah ASSE Genk (namanya juga tidak populer).

Namun di luar itu, kami memiliki acara tersendiri. Kami bersama-sama mengobrol tentang macam-macam, dari masalah pemilu, sepakbola, motogp, bbm, dan lain-lain sering kami diskusikan bersama. Kami juga sering bepergian atau berwisata bersama. Entah kenapa kami selalu terlihat kompak di kelas maupun di luar kelas.

Satu hal yang aku banggakan dari ”geng” buatanku ini adalah rasa kesetiakawanan yang tinggi. Semuanya saling membantu, tidak ada yang saling memanfaatkan. Benar-benar kenangan yang tidak terlupakan. Selain itu, hal-hal yang kami lakukan bersama berlangsung dalam kerangka kegiatan yang bernilai positif, sesuatu yang kulihat tidak ada di dalam SECA Gank.

Mungkin karena ikatan yang kuat itulah, kami yang selama tiga tahun berteman dan bersahabat di SMA pun sulit dipisahkan kala sudah lulus. Meskipun kami sudah berpisah sekarang, namun ketika kami kembali bertemu, sifat-sifat ASSE Gank masih tetap ada. Keceriaan dan kesetiakawanan itu masih tetap ada. Sungguh sesuatu yang sangat indah untuk dikenang. Persahabatan bersama ASSE Gank, akan selalu ada….

Pesanku, bolehlah kita berkelompok dalam menjalin pertemanan, tapi usahakan selalu dalam bingkai yang positif dan hindari kegiatan-kegiatan bertema negatif. Karena sesuatu yang baik, pastilah indah untuk dikenang dibandingkan sesuatu yang buruk.