Siapa di antara kita yang tak kenal Presiden Sukarno? Dia adalah presiden pertama sekaligus bapak bangsa pendiri negara kita tercinta. Presiden pertama ini memang sangat fenomenal. Banyak sensasi yang telah dibuatnya, mulai dari keterikatan dengan komunis, sifatnya yang playboy, dan konon punya ilmu sakti yang tinggi (maaf untuk para pengagum Sukarno, kalau sifat yang disebutin hanya yang buruk saja). Dari sekian banyak sensasi yang pernah ditoreh perancang Pancasila ini, tahukah Anda kalau beliau gemar mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi alias ngebut?
Kalau belum tahu, maka saya akan bercerita. Suatu hari, bapak Presiden datang menemui saya yang baru saja tiba di ibukota Jakarta. Beliau datang dengan sebuah mobil klasik bersama ajudannya yang menyetir mobil. Beliau turun dari mobil dan menghampiri saya. Kata beliau, saya akan diajak berjalan-jalan mengelilingi kota Jakarta yang begitu luas agar saya dapat lebih mengenal ibukota negara yang dibangunnya bersama bapak Hatta ini. Beliau mengatakan sangat tersanjung karena seorang dari kampung mau datang ke ibukota. Tentu saja saya sangat terkejut dengan ajakan ayah Megawati tersebut. Saya tak menyangka bila seorang presiden sekaliber Sukarno mau menyempatkan waktunya di tengah konflik dengan Malaysia hanya untuk menemani saya berkeliling kota yang dahulu bernama Sunda Kelapa ini. Betapa senang perasaan saya. Baru datang dari kampung dan langsung bertemu Presiden negara dunia ketiga yang paling berpengaruh ini, tentunya suatu keberuntungan yang sangat besar. Ditambah lagi, sang proklamator tersebut yang menawarkan diri menemani berkeliling ibukota. Rasanya seperti menjadi raja sehari, padahal saya ini kan bukan siapa-siapa, alias hanya orang kampung biasa.
Saya tak ingin membuat sang Presiden menunggu. Saya mengiyakan ajakan beliau dengan perasaan gembira. Beliau tampaknya senang dengan penerimaan saya. Beliau lalu membuka pintu depan mobil dan menyilakan saya untuk masuk. Saya langsung masuk dengan perlahan dan duduk di kursi depan dengan hati-hati, takut salah tingkah. Malu dong sama Bapak Presiden. Mobil klasik milik presiden Sukarno terasa sangat nyaman dan bersih, jelas menandakan bahwa mobil tersebut dirawat dengan sangat baik (ya iyalah…dia kan Presiden). Saya lalu memejamkan mata sejenak, mencoba menikmati saat-saat langka bersama sang proklamator legendaris tersebut. Perlahan tapi pasti, mobil klasik tersebut mulai berjalan. Awalnya berjalan pelan dan aman. Namun tiba-tiba mobil menghentak dengan keras dan melaju dengan cepat. Saya terkejut dan membuka mata. Saya mendapati presiden Sukarno tengah memegang kemudi mobil sementara ajudannya tampak istirahat di kursi belakang. Saya kaget dan bertanya mengapa bapak presiden yang menyetir dan bukannya ajudan beliau. Beliau menjawab dengan santai, ”Kasihan ajudan saya, sekali-kali biar dia istirahat. Saya juga sudah lama tidak menyetir, rindu zaman perjuangan dulu.”
Saya berusaha mencerna jawaban Pak Presiden. Namun laju mobil yang kencang dan tampak ugal-ugalan dan berkali-kali hampir menabrak membuat saya ketakutan. Saya paling tidak suka berada dalam kendaraan yang melaju cepat dan ugal-ugalan. Tapi hari itu saya hanya pasrah karena yang menyetir presiden. Saya heran, bagaimana mungkin seorang presiden suka mengendarai mobil secara kebut-kebutan? Karena penasaran, saya pun bertanya kepada sang Presiden. Beliau menjawab lagi-lagi dengan santai, ”Dulu, saat masa perjuangan, saya yang menyetir mobil, menghindari kejaran tentara penjajah. Agar tidak tertangkap, menyetir mobil harus cepat. Dan karena seringnya kejar-kejaran dengan penjajah, saya jadi terbiasa dan akhirnya menikmatinya. Itu sudah lama sekali sebelum saya didaulat menjadi presiden.” Waduh, ternyata ada juga kisah presiden seperti itu. Iseng-iseng saya bertanya lagi, ”Selama ngebut, Bapak pernah menabrak belum?” Sang Presiden tersenyum. Beliau sepertinya tahu akan ketakutan saya. ”Pernah, berkali-kali malah, tapi yang saya tabrak itu hanya kucing. Masalahnya kucing itu milik nona Belanda. Makanya saya lalu dikejar-kejar tentara Belanda sampai kemudian tertangkap dan dipenjara di Sukamiskin. Saya sendiri heran, kenapa kucing milik nona tersebut suka sekali saya tbrak,” jawab presiden dengan santai, padahal mobilnya barus saja berhenti mendadak. Ternyata bapak Presiden punya selera humor juga ya, pikir saya mendengar jawaban ini. ”Sebenarnya saya tidak pernah berminat untuk emnjadi presiden. Saya paling senang mengendarai mobil, apalagi balapan mobil dan kebut-kebutan. Cita-cita saya dulu ingin menjadi pembalap mobil profesional. Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, saya pun terpilih menjadi presiden,” kisah Presiden Sukarno lagi. Saya tersenyum simpul mendengarnya. Saya sebenanrnya ingin tertawa lepas, namun saya tahan, maklum takut malu sama Presiden.
Seharian itu saya bersama bapak Presiden menyusuri kota Jakarta yang masih sepi, tidak seperti saat ini yang pasti macet. Presiden Sukarno menunjukkan kepada saya tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat wisata yang ada di Jakarta. Dan tak lupa pula mobil yang kami tumpangi mampir di Monumen Nasional atau disingkat Monas. Wah, cita-cita saya untuk bisa melihat Monas secara langsung akhirnya terwujud! Sudah dari dulu saya ingin sekali pergi ke Monas, tapi tak pernah kesampaian. Sekarang keinginan itu terwujud. Dan hebatnya lagi, yang membawa saya ke sana adalah sang Panglima Revolusi, Presiden Sukarno! Presiden melihat kegembiraan dalam raut wajah saya. Tampaknya beliau senang telah membuat saya gembira. ”Bagaimana, kamu senang?” tanyanya. ”Jelas, Pak! Saya sangat gembira!”
Entah kenapa hari itu berjalan begitu cepat, matahari tampak mulai mengantuk dan akan kembali tidur di cakrawala. Sudah saatnya Presiden mengantar saya pulang dan kembali bertugas menyusun rencana untuk ”mengganyang Malaysia”. Atas hari terindah yang telah diberikan, saya pun mengucapkan terima kasih dengan begitu tulus kepada bapak Presiden. Saya mengatakan kalau saya takkan pernah melupakan hari indah bersama sang Presiden, meskipun perut saya mual-mual karena Presiden menyetir layaknya pembalap mobil formula. Presiden tersenyum mendengar ucapan terima kasih saya. Beliau lalu memberikan sebuah jas berwarna merah kepada saya sebagai kenang-kenangan. Saya menerimanya dengan senang hati. Jas Merah yang diberikan oleh bapak Presiden sepertinya adalah sebuah simbol, tapi apa artinya ya? Saya lupa.
Setelah memberikan jas berwarna merah tersebut, kami kembali mengendarai mobil klasik kesukaan Bung Karno tersebut. Kali ini bapak Presiden akan mengantarkan saya pulang. Tapi, kali ini bapak Presiden menyetir mobil lebih kencang dari sebelumnya. Kata beliau, beliau harus buru-buru kembali ke istana untuk menari lenso dengan tamu penting dari Ambon. Beliau pun harus segera mendengar perkembangan terbaru mengenai Malaysia dari menteri luar negeri Subandrio. Memang, presiden adalah orang yang paling sibuk di negara ini. Kecepatan mobilnya saja kini kira-kira sama seperti kecepatan mobil Kimi Raikonnen. Saya kembali ketakutan. Adrenalin saya memuncak. Tangan saya berpegang dengan sangat erat pada tepi kursi. ”Pegangan yang erat!” ujar bapak Presiden samar-samar. Suaranya tertelan dengan suara deru kendaraan yang begitu kencang. Saya semakin takut dan khawatir. Seumur-umur, saya belum pernah bepergian dengan kecepatan seperti ini. Kekhawatiran saya menjadi kenyataan. Tiba-tiba seorang nenek-nenek menyeberang jalan. Sudah terlambat bagi bapak Presiden untuk menginjak rem. Saya berteriak sangat keras saat mobil akan menabrak sang nenek. Orang-orang yang ada di sana pun berteriak sangat keras. Lalu terdengarlah suara yang sangat keras. Begitu kerasnya hingga saya pun terbangun. Oh, ternyata alarm ponsel. Dan ternyata, saya hanya bermimpi! Pertemuan saya dengan bapak Presiden ternyata hanya mimpi!
Entah kenapa akhir-akhir ini mimpi saya suka yang aneh-aneh. Waktu itu saya mimpi bertemu Rasul (baca kisahnya di sini), sekarang malah bermimpi bertemu presiden Sukarno. Padahal saya bukanlah pengagum presiden Sukarno. Kenapa saya bisa bertemu dengannya dalam mimpi ya? Oh, mungkin ini karena akhir-akhir ini saya tengah menyelidiki perihal konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia terkait Kalimantan Utara tahun 1963. Kok bisa ya? Kenapa bapak Presiden menemui saya di dalam mimpi? Saya lalu berpikir mencari alasan yang logis. Saya lalu teringat hadiah yang diberikan sang Presiden kepada saya. Sebuah jas berwarna merah, dan saya ingat apa arti dari jas merah tersebut. Jas merah adalah akronim terkenal ciptaan sang Proklamator. Kepanjangannya adalah ”Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Mungkin sang Presiden tidak ingin aku melupakan sejarah. Mungkin nggak ya? Siapa tahu?