Sejak dua bulan lebih yang lalu aku memulai sebuah rutinitas di pagi hari, yaitu berlari pagi mengelilingi komplek kavling. Sebenarnya sudah lama aku berlari pagi tapi tak serutin dua bulan terakhir ini. Biasanya ibuku akan memaksaku untuk berlari mengelilingi sebuah bukit di kampung halamanku dulu setiap minggunya. Terus terang saja, lari pagi adalah olahraga yang paling aku benci karena aku lebih suka bermain bulutangkis atau futsal. Bagiku lari pagi hanyalah mencari rasa lelah dan keringat saja, berbeda dengan bermain bulutangkis dan futsal dimana aku bisa mendapatkan kesenangan dan kenikmatan pertandingan, berkeringat tanpa memikirkan rasa lelah.
Tapi semenjak lulus SMA aku sudah tidak pernah memainkan bulutangkis, lebih dari itu… aku sudah sangat jarang berolahraga walaupun sesekali kawan-kawan mengajakku bermain futsal. Yang sering kulakukan adalah tidur dan tidur serta makan. Bahkan aku pernah makan lima kali sepiring penuh dalam sehari. Dalam beberapa hal, aku memang menjadi selalu lapar, aku sendiri heran dengan kebiasaanku ini. Kebiasaan ini berlangsung terus-menerus selama kira-kira dua tahun hingga kemudian tubuhku yang sebelumnya kurus kering kerontang berubah menjadi sangat gendut hingga kawan-kawan lamaku terkejut melihat perubahan yang terjadi padaku.
Hari-hari berlalu dan yang kudapatkan adalah ejekan kalau aku gendut, ada yang memanggilku seperti kerbau, ada yang menyebutku siap untuk dijadikan kurban di lebaran haji, dan beberapa di antaranya pingsan saat melihat badanku yang begitu gendut (well, yang bagian ini sama sekali tidak benar).
Aku lalu berpikir betapa salahnya menjadi diriku. Dulu aku dikenal sebagai bocah yang kurus, sangat kurus sehingga teman-temanku menjulukiku “Cacing”, dan beberapa di antara mereka salah menyebutkan kata “Cacing” sehingga mereka memanggilku “Kucing” (bagian yang ini yang paling aku suka). Mereka bahkan mengutukku sebagai bocah yang tidak akan bisa gemuk. Kupikir ucapan mereka benar, namun kenyataannya, setelah tahun demi tahun terlewati, akhirnya aku menjadi gemuk atau tepatnya gendut. Leherku menebal, perutku buncit, dan bokong besar. Well, lalu apa yang mereka katakan? Mereka tetap mengolokku! Dan itulah yang membuatku berpikir betapa salahnya menjadi diriku… ketika aku kurus mereka mengejekku dan ketika aku gendut mereka pun masih mengejekku. It’s okay, toh aku tidak mempermasalahkannya sampai kemudian…
Suatu hari aku berkaca dan menemukan betapa besarnya tubuhku, walaupun tidak sebesar Almarhum Big Dicky, tapi tetap saja besar! Aku menyadari hal ini terlebih kegemukan ini akhirnya sangat menggangguku. Celana panjangku banyak yang tidak muat lagi di pinggangku, beberapa kaos menjadi sangat sempit seolah-olah aku memakai pakaian ketat. Kakiku pun sudah tidak bisa dimasukkan ke dalam sepatu, hingga saat dipaksakan sepatuku rusak lalu dijual oleh tanteku yang jahat pada tukang loak. Aku baru menyadarinya saat akan berangkat mengikuti tugas akhir, membuatku teringat saat aku pernah diusir dosen gara-gara aku datang memakai sandal ke kampus. Hahaha, konyol sekali! Sebenarnya tidak ada niat untuk mangkir tapi sepatuku memang sedang basah waktu itu. Masa-masa jaket kuning yang menyedihkan… sayang hanya berlangsung sebentar…
Anyway, kok jadi menjurus ke sepatu? Kita kembali ke topik. Well, intinya perut buncit dan leher tebalku, serta jangan lupakan bokongku, terasa mengganggu aktivitasku. Dan karena hal inilah sebagian besar keluargaku, baik Paman, Bibi, atau saudara sepupu (bahkan tukang ketoprak pun juga) mengatakan kalau aku terlihat seperti bapak-bapak dan umurku sudah begitu tua. Hei, aku tidak setua itu! Sampai pada satu titik aku memutuskan untuk berubah… ya, saat aku mulai merasakan sakit di dadaku serta begitu mudahnya aku kelelahan hanya jarena berjalan dalan jarak yang dekat. Padahal dulu aku dikenal sebagai penjelajah alam yang bisa melintasi pegunungan enam puluh kilometer dengan spartan walaupun sedang sakit dan juga pengendara sepeda yang mampu melewati rute berliku sepanjang tiga puluh meter pulang pergi setiap harinya, sementara sekarang dengan tubuhku yang gendut mengejar ponakanku saja sudah begitu merepotkan. Jadi aku pun mulai menuruti nasehat ayah tiriku yang masih begitu bersemangat di usia senjanya serta nasehat tanteku yang sebenarnya sudah kudengar empat tahun yang lalu namun aku begitu malas waktu itu. Saran itu adalah: bangun pagi dan mulai berlari!
Ya, dua bulan yang lalu aku rutin melakukannya setiap jam lima pagi atau sebelum jam lima pagi, katakanlah jam lima kurang lima belas menit. Di setiap waktu itu setiap harinya kecuali hari Senin dan Kamis aku selalu berlari mengelilingi komplek kavling tempatku tinggal saat ini sebanyak satu kali. Satu kali? Kata adikku sih satu kali terlalu mudah dan singkat, tapi menurutku mengelilingi komplek kavling yang begitu luas hanya sekali saja sudah sangat melelahkanku dan membuatku muntah-muntah, muntah darah bahkan (gak dink). Bagiku satu kali mengelilingi komplek kavling sudah cukup yang terpenting aku melakukannya rutin setiap hari. Ini lebih bermakna dibandingkan berlari sangat jauh namun hanya dilakukan satu kali dalam sebulan, bahkan dalam satu tahun waktu ada lomba 10K saja. Ya, aku berprinsip “tidak peduli seberapa jauh jarak yang kamu tempuh, yang terpenting adalah seberapa sering kamu melakukannya.”
Tapi apa yang terjadi pagi ini harus menjadi pelajaran untukku meningkatkan diri. Pagi ini aku kembali melangkahkan kakiku menyusuri jalanan yang masih gelap dan sepi. Aku berlari dengan begitu bersemangat hingga kemudian lelah dan memutuskan berjalan kaki sebentar. Saat itulah seseorang berlari mendahuluiku. Orang itu adalah kakek-kakek yang… hei, dia kuat berlari! Melihat seorang tua seperti itu saja masih bisa berlari dengan bersemangat, kenapa aku tidak? Aku pun merasa tertantang dan tergerak untuk kembali berlari dan berusaha menyusulnya. Terus terang saja sebenarnya aku merasa tenagaku sudah terkuras habis karena aku terlalu bersemangat lari sebelumnya sehingga untuk mengejar kakek itu menjadi begitu sulit. Yang terjadi kemudian aku terus menempelnya ketat di belakang, berusaha keras untuk bisa mengejar kakek itu. Lama aku mengejarnya hingga akhirnya aku berhasil mengimbanginya, berjalan tepat disampingnya. Kakek itu tersenyum namun tak memperlambat larinya, justru semakin mempercepatnya seolah tak mau kalah denganku. Tentu saja aku semakin tertantang sehingga aku memaksakan diriku untuk terus berlari dengan tekad tidak boleh kalah dari lelaki tua itu. Aku lebih muda, aku harus lebih kuat!
Well, pada kenyataannya aku memang berhasil mendahuluinya, itupun dengan perjuangan begitu keras hingga kemudian kami berdua beristirahat di lapangan bulutangkis. Kami mengobrol sebentar dan setelah itu berpisah karena aku akan langsung pulang mengingat jalan di depan sudah menuju ke rumah. Aku menyalami beliau dan mengucapkan terima kasih karena sudah menemani lari pagi, sebuah “perlombaan” yang menyenangkan. Kakek itu tersenyum dan mengatakan, “Sampai jumpa besok lagi…”
Aku terkesan dengan semangat yang dimiliki kakek itu. Meskipun sudah berusia lanjut, namun semangatnya untuk berolahraga masih begitu tinggi, membuatku merasa sangat malu pada diriku sendiri yang malas berolahraga. Kakek itu bahkan mengatakan, “Pagi-pagi berobat gratis”, yang maksudnya adalah mendapatkan pengobatan dari berlari pagi. Well, pertemuan dengan kakek itu membuatku tersadar bahwa sudah saatnya aku meningkatkan level, sudah saatnya aku meningkatkan jarak tempuhku… bila sebelumnya aku hanya mampu mengelilingi komplek kavling sebanyak satu kali, mulai pagi esok dan seterusnya… aku harus mampu melakukan lebih dari itu! Aku tidak boleh kalah, akau harus mampu melangkah lebih jauh lagi….
Pada akhirnya apa yang selama ini aku pikirkan salah. Selama ini aku berpikir kalau berlari pagi hanya menghasilkan lelah dan keringat saja, namun kenyataannya… berlari pagi ternyata juga bisa menghasilkan suatu kenikmatan, suatu kenikmatan untuk terus berlari walaupun begitu banyak godaan untuk memintamu berhenti! Pertemuan dengan kakek itu telah membuktikan kalau aku masih bisa berlari bila aku masih mampu menggerakkan tubuhku. Dalam beberapa hal, rasa malas harus dilenyapkan dengan memaksa tubuh untuk bergerak. bila kita berhasil memaksa tubuh kita untuk melenyapkan malas, maka kita berhasil menjadi pengendali penuh atas tubuh kita, bukan sebaliknya. Kita pasti bisa bila kita berusaha, tak peduli apakah kita berhasil atau tidak, yang terpenting adalah seberapa kuat usaha yang telah kita lakukan untuk mencapai apa yang kita inginkan.
Pagi besok dan seterusnya, aku tidak boleh kalah… ada pagi yang harus dikejar… ada pagi yang harus dimenangkan!
Untuk sahabatku, kejarlah mimpimu tanpa lelah… jangan berhenti sebelum kau benar-benar tiba di garis akhir… kalaupun kau berhenti karena lelah… aku akan selalu memberikan semangat untukmu… aku akan berusaha berlari di sampingmu… bersamamu…