Korupsi itu Dekat

Gambar

Korupsi itu dekat? Yeah, ironis memang, tapi itulah kenyataannya. Korupsi adalah kata yang lekat kita dengar di Negara tercinta kita ini, Indonesia. Kata ini sangat-sangat populer di negeri ini, hampir setiap hari bisa kita baca atau kita saksikan di media massa. Sebuah kata yang begitu berbahaya namun mendarah daging di Indonesia, sampai-sampai ada lembaga yang oleh ketua DPR disebut “Super Body”, yaitu KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak bisa dipungkiri bahwa korupsi telah menjadi episode utama dalam drama kehidupan di Indonesia, yang karena kepopulerannya itu saya pikir saya tidak perlu menjelaskan lagi definisi dari kata tersebut. Korupsi memang tidak sebatas materi, namun yang akan saya bahas pada tulisan saya ini berkaitan dengan korupsi materi yang seolah sudah menjadi budaya bangsa dan menyapa kehidupan kita sehari-hari.
Kadang saya tidak habis pikir kenapa banyak pejabat kita yang tergoda untuk melakukan korupsi, yang kemudian membawa mereka ke meja hijau. Seharusnya sebagai aparat pemerintah yang bekerja untuk rakyat, mereka bisa berpikir bahwa korupsi membuat rakyat menderita, sehingga apabila kondisi ini terjadi akan terjadi pergolakan yang membahayakan negeri. Itu efek secara luas, belum lagi efek-efek lainnya yang saling berhubungan. Dalam segi agama, korupsi sama saja dengan mencuri, mengambil sesuatu baik sedikit ataupun banyak yang bukan merupakan bagian milik dari pelaku korupsi. Mencuri adalah dosa, sudah semestinya para pejabat yang katanya pandai dan beragama itu menyadarinya. Dengan nalar dan logika mereka pun seharusnya sudah bisa menahbiskan bahwa korupsi adalah kejahatan. Apakah mereka sudah begitu pandainya hingga berani menentang Tuhan dengan jelas-jelas melanggar perintah-Nya? Terlebih lagi jabatan adalah amanah, yang sudah semestinya tidak disalahgunakan dengan cara korupsi. Tidak menjalankan amanah adalah dosa, artinya pelaku korupsi memiliki dosa lainnya selain mencuri itu sendiri yaitu khianat, yang justru lebih menyedihkan dari korupsi. Lucunya, mereka yang lantang bicara anti-korupsi rupa-rupanya justru terjerat kasus korupsi, seperti salah seorang mantan menteri yang pernah menuliskan pembukaan untuk buku anti korupsi yang ditulis oleh tante saya, hingga yang terbaru dan begitu populer beberapa waktu ini, mantan Putri Indonesia yang terjerat korupsi wisma atlet.
Tapi sebenarnya bila bicara korupsi, itu tidak melulu terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan, karena korupsi itu dekat dengan kehidupan masyarakat bahkan hingga tingkatan paling bawah seperti keluarga sekalipun. Korupsi bisa terjadi hampir di seluruh lembaga yang ada di Indonesia tanpa terkecuali. Tidak harus intansi pemerintah namun berlaku pula bagi perusahaan-perusahaan swasta. Bahkan lembaga pendidikan dan agama yang mestinya terpercaya dengan intelijensia mereka juga bisa terjerat kasus korupsi. Contoh termutakhir adalah korupsi di departemen agama mengenai pengadaan Al-Qur’an. Padahal sebagai sebuah departemen yang menangani perihal agama, mereka adalah orang-orang yang lebih faham mengenai dosa bila dibandingkan masyarakat awam pada umumnya.
Pada akhirnya saya mengerti dan memahami kenapa orang Indonesia bisa tergoda untuk melakukan korupsi setelah mengalaminya sendiri secara langsung. Sabtu kemarin saya diminta untuk datang ke Samarinda, menghadiri acara perusahaan. Perusahaan saya mengatakan akan menanggung semua biaya perjalanan dan penginapan selama saya mengikuti acara tersebut, namun saya harus melampirkan pula bukti-bukti pembayarannya. Maka hari Jum’at malam saya berangkat dari Bontang ke Samarinda dengan menumpang bus tujuan Balikpapan. Tempat duduk telah habis terjual dan tempat telah penuh, namun kondektur bus mengizinkan saya naik dengan membayar setengah harga saja (umm… ini korupsi bukan ya? Hehehe… #PLAK!). Karena bus tersebut adalah bus terakhir malam itu, saya tidak punya pilihan selain menumpang pada bus tersebut. Praktis saya tidak mendapatkan tiket perjalanan untuk saya tunjukkan sebagai reimburse pada perusahaan saya. Tapi tidak apa-apa, anggap saja jalan-jalan biasa, toh sudah lama juga saya tidak pergi ke Samarinda, tidak memusingkan apakah nantinya biaya yang saya keluarkan akan diganti perusahaan saya atau tidak.
Setelah menempuh perjalanan yang memuakkan karena berkali-kali ingin muntah (dan akhirnya muntah juga saat busnya berhenti untuk istirahat sejenak di Perangat), saya pun tiba juga di Samarinda. Dari sana saya berjalan kaki menuju kantor perusahaan saya, mengupayakan bisa menginap disana malam itu untuk menghemat biaya. Akan tetapi kantor saya tertutup, terkunci rapat, membuat saya berpikir untuk mencari hotel terdekat untuk menginap malam itu. Pihak perusahaan sendiri sebelumnya telah mencarikan tempat penginapan di sekitar kantor perusahaan, namun rupanya hari itu semuanya penuh sehingga saya pun disuruh untuk mencarinya sendiri dengan syarat tarifnya tidak terlalu mahal dan tidak macam-macam. Biaya penginapannya sendiri nantinya akan digantikan oleh perusahaan saya sesuai bukti pembayaran. Awalnya saya berpikir untuk tidak menginap di hotel demi mengurangi pengeluaran perusahaan. Alternatifnya, saya merencanakan menginap di masjid terdekat. Namun karena tidak enak pada penduduk setempat serta demi kemudahan juga bagi saya nantinya, maka saya kemudian mulai berjalan menyusuri jalanan Samarinda mencari hotel atau penginapan dengan tarif murah di sekitar kantor perusahaan. Lagipula saya kan pegawai bank, tidak elit dong kalau tidak menginap di hotel! (PLAK!)
Saya beberapa kali masuk ke dalam hotel-hotel yang ada disana, namun kebanyakan kamarnya telah terisi penuh dan kamar yang tersisa memiliki tarif yang mahal sehingga membuat saya kembali berjalan mencari hotel yang sesuai. Saat beristirahat di sebuah langgar, saya bertemu dengan seorang warga yang memberikan informasi hotel bertarif murah. Maka saya pun berjalan kembali ke tempat yang dimaksud. Setibanya disana memang ada yang bertarif murah, namun fasilitasnya tidak mendukung ditambah penjaganya malah asyik tertidur, membuat saya meragukan kualitas hotel tersebut. Saya kembali lagi berjalan, bertanya pada pedagang jalanan di tengah malam buta, dimana waktu telah menunjukkan pukul dua pagi. Sang pedagang memberitahukan lokasi beberapa hotel murah di sekitar Pasar Pagi, yang langsung saja saya datangi. Namun sayang setibanya saya di hotel-hotel yang disarankan tersebut, pintu hotel-hotel itu telah terkunci, menandakan bahwa mereka tidak lagi menerima tamu. Saya mulai putus asa dan kembali memikirkan untuk menginap di masjid saja hingga kemudian saya melihat hotel lain di samping hotel-hotel tersebut. Berharap keberuntungan, saya pun masuk kesana. Rupanya penjaganya dan resepsionistnya tengah tertidur, namun mereka langsung terbangun saat saya masuk. Lagi-lagi kamar yang murah telah habis terisi, menyisakan kamar-kamar dengan tarif yang mahal. Saya pun putus asa dan mengatakan saya akan mencari hotel lain dengan getir pada penjaga hotel tersebut. Namun sang penjaga lalu menawarkan tarif murah sebagai pengecualian, mengenakan potongan dua puluh lima persen namun waktu check-out saya jadi lebih pendek, pukul enam pagi. Karena tidak punya pilihan dan menganggapnya sesuai, saya pun menerima tawaran itu dan menginap di hotel tersebut, langsung membayarnya di muka sesuai tarif yang ditawarkan. Saat saya menanyakan tentang bukti pembayaran, resepsionist menawarkan bon kosong, namun saya menolaknya dan meminta bukti pembayaran yang sesuai dengan tarif. Resepsionist mengatakan akan memberikannya saat check-out dan saya lalu diantarkan ke kamar. Praktis saya hanya beristirahat selama tiga jam saja di hotel tersebut, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Saya tidur begitu nyenyak dan terbangun dengan menyegarkan, merasakan tenaga saya kembali pulih terutama setelah mandi. Pukul enam lebih sedikit saya keluar dari kamar hotel untuk check-out sekaligus meminta bukti pembayaran. Sang resepsionist pun mengetikkan bukti pembayarannya dan memberikan kepada saya. Akan tetapi saya tercengang saat saya melihat nominal yang tertera pada bukti pembayaran itu tertulis sesuai dengan tarif asli, meskipun saya sudah membayarnya di muka dengan tarif yang mendapatkan potongan harga. Artinya, bila saya memberikan tanda bukti pembayaran tersebut kepada perusahaan, maka perusahaan akan menggantinya sesuai dengan tarif normal yang dikenakan atas kamar tersebut, bukan sesuai dengan tarif yang telah saya bayar, yang lebih murah dari tarif normalnya. Langsung saja saya tergiur jumlah yang akan saya terima bila saya memberikan bukti pembayaran tersebut. Saya akan bisa mendapat keuntungan senilai seperempat persen dari tarif normal!
Saya terdiam memandangi kertas bukti pembayaran itu. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk mengembalikan kertas itu dan meminta bukti pembayaran baru yang sesuai dengan tarif yang telah saya bayar. Sebagai seorang muslim yang dilatih dan terlatih untuk berbuat jujur, saya merasa tidak berhak menerima uang tersebut walaupun ada kesempatan besar di depan mata. Seperempat bagian itu mungkin jumlah yang kecil, namun sesungguhnya artinya sama besarnya dengan jumlah yang telah dikorupsi oleh para pejabat di negeri ini. Kecil atau besar, korupsi tetaplah korupsi, tidak pernah bisa dibenarkan sekalipun itu dilakukan secara berjamaah. Kalau sholat berjamaah memang sangat dianjurkan, tapi korupsi berjamaah jelas sangat salah. Ada-ada saja memang orang Indonesia, sukanya kok berjamaah untuk hal-hal yang jelek. Weleh-weleh…
Jadi kesimpulannya sama persis seperti yang diucapkan oleh Bang Napi bahwa kejahatan bisa terjadi bukan karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah! (PLAK!). Ya, kesempatan itulah yang membuat orang menjadi gelap mata dan tergoda untuk melakukan korupsi. Saat melihat sebuah celah yang bisa dimanfaatkan sebagai ladang untuk mengeruk materi, mata akan menjadi hijau oleh kilau dunia. Saat itu setan akan dengan senang membisikkan kata-kata manis demi menggoda manusia melakukan kesalahan, sebagaimana yang dilakukannya pada Adam dan Hawa. Disinilah pentingnya iman, sebagai penyaring atau gatekeeper untuk bisikan-bisikan sesat yang mampu membahayakan kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat kelak. Itulah kenapa ilmu dan kepandaian saja tidak cukup bila tidak dibekali oleh iman dan ketaqwaan kepada Sang Maha Hidup.
Itulah pengalaman pertama saya menemukan sebuah kesempatan emas untuk melakukan korupsi yang nyata tidak dapat dilacak kebenarannya. Pengalaman seperti ini sebelumnya hanya saya saksikan saja di media massa, dimana disana diberitakan mengenai para pejabat atau PNS nakal yang suka memalsukan laporan perjalanan dinas mereka, menjadikan korupsi semakin tumbuh subur di negeri nan kaya ini. Di hari yang sama pula saya menemukan sebuah fakta menarik mengenai korupsi, yang kemungkinan telah terjadi di perusahaan negara dimana saya ditempatkan bekerja saat ini. Hal ini saya ketahui berdasar perbincangan saya dengan rekan saya di perusahaan yang bekerja di bagian teknologi informasi. Sebelumnya perusahaan kami menawarkan semacam program pengelolaan keuangan yang cepat dan transparan kepada perusahaan rekanan dimana saya ditempatkan. Aplikasi tersebut awalnya ditolak oleh pemegang kekuasaan di perusahaan rekanan tersebut, yang kemudian terpaksa mengiyakannya karena perintah dari tingkatan perusahaan yang lebih tinggi. Padahal bila dipikirkan dengan baik, teknologi yang kami tawarkan adalah teknologi terstruktur yang akan memudahkan pengelolaan keuangan dan meningkatkan transparansi, mencegah korupsi. Dari situ tersirat bahwa masyarakat Indonesia sendiri belum siap untuk menerima dunia anti korupsi, masih suka dengan cara-cara lama yang sebenarnya merugikan bangsa, membuka celah korupsi. Ironis memang, tapi itulah kenyataannya. Negara dan bangsa dirugikan karena korupsi, tapi sang pelakulah yang sebenarnya paling dirugikan bila kita bisa memahaminya secara baik. Jadi bila kita tidak mau merugi, janganlah sekali-kali melakukan korupsi. Say NO to KORUPSI, say YES to SEDEKAH!

Perpisahan dan Kenangan…

Gambar

Foto perpisahan dengan Mas Adi (nomor dua dari kiri/di sampingku)

Awal bulan lalu adalah awal bulan yang cukup sedih. Aku mesti berpisah dengan dua pegawai di kantor PLN area Bontang, pejabat SDM Mas Debby dan driver Mas Adi. Mas Debby dipindahtugaskan ke PLN Wilayah Kalimantan Timur di Balikpapan sementara Mas Adi mengundurkan diri untuk mencoba peruntungan lain di kota Samarinda. Kedua orang ini adalah pegawai yang baik yang disukai oleh rekan-rekan lainnya. Tak ayal bila kemudian perpisahan dengan mereka berdua bisa begitu emosional. Tapi setiap pertemuan memang selalu berakhir dengan perpisahan…
Pada tulisanku kali ini aku akan sedikit bercerita tentang Mas Adi, driver PLN. Aku sedang asyik mengetik di komputerku saat Mas Adi datang mengucapkan perpisahan pada rekan-rekan lainnya. Aku sendiri terkejut saat mendengar Mas Adi mengundurkan diri dan akan pindah ke Samarinda. Rasanya begitu sedih harus berpisah dengan Mas Adi yang sudah begitu baik padaku. Aku ingat waktu itu aku pernah merasa sakit, tidak enak badan, panas dan pusing. Kebetulan Mas Adi lewat di depanku dan aku iseng bertanya mengenai obat yang tepat untuk sakitku. Mas Adi menyarankan sebuah nama obat untuk kubeli di apotek. Tak lama kemudian dia kembali datang ke mejaku untuk memberikan dua tablet obat yang dimaksud, yang ternyata dia masih memilikinya. Aku berterima kasih padanya dan langsung meminumnya. Obat tersebut memang manjur karena tak lama setelah aku meminumnya, kondisi kesehatanku mulai membaik.
Hubunganku dengan Mas Adi bisa dibilang cukup baik bila dibandingkan hubunganku dengan Mas Debby, namun bukan berarti hubunganku dengan Mas Debby tidak baik. Sebagai petugas bank yang numpang ngantor di PLN, posisiku tidak terlalu bagus sehingga acapkali mendapat pergantian tempat dikarenakan kebutuhan PLN. Aku pun sempat ditempatkan di satu ruangan bersama pegawai Naga Mas, perusahaan outsourcing dimana Mas Adi bekerja. Selain Naga Mas, di dalam ruangan itu juga terdapat koperasi PLN dan cleaning service. Bila sedang tidak nyetir, Mas Adi biasanya nongkrong di ruangan itu bersama teman-teman lainnya, termasuk dengan Mas Susilo, driver yang super kocak. Karena itulah kami pun sering ngobrol dan bercanda bersama sehingga menjadi akrab. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama ketika kemudian tempatku kembali dipindah dikarenaka ruangan tersebut akan digunakan menjadi ruangan asisten manajer pelayanan, Bapak Purwoko. Sebelumnya ruangan Pak Purwoko berada di lantai atas, namun sejak penyakit yang dideritanya menjadi parah, PLN memutuskan memindahkannya di lantai bawah demi alasan kesehatan. Para pegawai yang sebelumnya berada di ruangan itu pun posisinya menjadi terpecah. Aku dan pegawai koperasi PLN dipindahkan kembali di ruangan bagian Keuangan, sementara Naga Mas dipindahkan ke lantai atas. Sejak saat itu aku dan Mas Adi sudah jarang mengobrol. Paling-paling kalau ketemu saja kami saling menyapa singkat. Di luar kantor sendiri kami sempat beberapa kali tidak sengaja bertemu saat aku sedang berjalan-jalan cari makan.
Aku mungkin tidak terlalu mengenal Mas Adi, tapi aku tahu dan yakin betul bahwa dia orang yang baik. Karena itulah saat hari itu Mas Adi datang untuk berpamitan, entah kenapa rasanya begitu sedih. Tidak hanya diriku, tapi semua pegawai yang pernah mengenal Mas Adi pastilah mengakui kebaikan Mas Adi. Bu Cucu, asisten manajer keuangan sampai menangis tatkala Mas Adi berpamitan pada beliau. Aku yang melihatnya jadi ikut sedih. Ingin ikut menangis tapi tidak bisa, hanya saja dadaku sesak hingga beberapa kali terbatuk. Aku tak menyangka bila Mas Adi akan mengundurkan diri, membuatku harus menemui kembali sebuah perpisahan setelah sebelumnya di tahun lalu berpisah dengan Mbak Ratna, pegawai koperasi yang mengundurkan diri karena harus merawat putranya. Aku tak mau berprasangka buruk, kupikir Mas Adi pastilah punya alasan terbaik kenapa dia memilih resign dan memutuskan mencari pekerjaan lain di Samarinda. Apapun alasannya, aku selalu berharap yang terbaik untuknya. Pertemuan terakhirku dengan Mas Adi adalah malam itu, saat aku datang ke kantor untuk sekedar menghabiskan waktu. Aku menghampirinya yang sedang duduk-duduk di pos satpam. Kujabat tangannya dan entah kenapa aku hanya bisa mengucapkan, “Sampai Jumpa.”
Perpisahan memang berat, tapi itu adalah kenyataan yang harus diterima. Selama bekerja di kantor PLN ini sendiri aku telah bertemu dengan empat perpisahan. Perpisahan pertama di awal-awal masa kerjaku yaitu dengan Mas Erdi, supervisor akuntansi yang begitu vocal mengkritisi kinerja perusahaanku; perpisahan kedua dengan Mbak Ratna, manajer koperasi PLN yang ternyata bertetangga denganku; perpisahan ketiga dengan Mas Adi, driver PLN yang sudah kuceritakan di atas; dan perpisahan keempat atau yang terakhir untuk saat ini yaitu dengan Mas Debby, pegawai personalia PLN yang begitu polos dan baik hati. Keempat-empatnya adalah orang baik yang telah meninggalkan kenangan-kenangan indah selama bekerja di PLN area Bontang. Itulah kenapa perpisahan dengan mereka semua bisa begitu emosional dan tidak bisa dipercaya. Well, orang baik memang akan selalu dikenang dan perpisahan dengan mereka akan selalu diingat. Akan selalu ada kesedihan tatkala kita berpisah dengan mereka, dan kita seakan tidak rela saat menyadari hal itu. Kita tidak rela berpisah dengan mereka, kita akan berusaha menahan mereka agar tetap bersama kita, itulah yang dirindukan dari orang-orang berhati baik. Akan selalu ada air mata karena selalu ada kenangan yang telah tercipta. Tapi satu hal yang harus selalu diingat adalah kebaikan mereka, kebaikan mereka untuk dikenang dan diteladani… karena orang yang kita sayangi, akan hidup selamanya di hati kita…
Hmm… setelah melihat perpisahan yang mengharu biru dengan orang-orang tersebut, aku jadi berpikir dan bertanya…. Apakah kepergianku kelak akan ditangisi? Akankah mereka merindukanku? Apakah mereka akan berat melepasku? Entahlah, kupikir aku terlalu jauh dari itu….

***

Aku berjalan pelan menuju mushola…
Kudapati Mas Debby tengah duduk di ambang pintunya sembari melihat suatu tempat…
Saat aku menghampirinya, dia berkata…
“Mas Lukman, lihatlah burung-burung itu,”
Dengan gerakan kepalanya Mas Debby menunjuk satu arah…
Aku menoleh dan melihat ke tanah yang ditunjuknya,
Beberapa ekor burung tampak berebut minum air yang ada di kubangan…
“Mereka minum dengan senangnya, baru kali ini aku melihat pemandangan indah seperti ini…
Tadi mereka sempat pergi karena ada mobil yang datang, tapi kini mereka kembali lagi untuk minum. Pemandangan yang indah bukan?”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ya, pemandangan yang indah…